Bahasa yang dipakai di buku keempat ini seperti buku sebelumnya menghentak-hentak kesadaran. Di sini prinsip-prinsip hidup ikal sebagai seorang pemberani terkesplisitkan lewat kata-kata dahsyat tentang penolakan terhadap nasib yang dialami dirinya dan ayahnya.
Cinta bisa menjadi kekuatan yang sangat dahsyat bagi seorang yang merasakannya. Sehingga bisa membuat seseorang melakukan hal yang mungkin mustahil dilakukan siapapun. Cinta bisa membimbing seseorang menemui yang dicintainya dimanapun berada. Cinta juga membuat seseorang mampu bertahan bahkan rela menyerahkan hal yang paling berharga yaitu nyawa.
Mimi tidaklah seberani Ikal pada titik itu. Mungkin perasaan jatuh cinta seperti yang dirasakan Ikal berbeda dengan yang mimi alami. Mimi pernah merasakan jatuh cinta namun perasaan ini layu sebelum berkembang. Cinta ini bila diteruskan mungkin bisa membuat mimi kena penyakit gila nomor dua puluh dua seperti pengkategorian penyakit gila yang selalu dilakukan Ikal. Namun Allah menyayangi mimi dan Ia menentukan akhir cinta itu dengan"bertepuk sebelah tangan" kacian deh mimi.
Pada akhirnya mimi ditemukan cinta yang lain. Cinta yang tenang. Cinta yang damai. Cinta yang aman bagi semua pihak. Termasuk menghindarkan mimi dari dari penyakit gila he he. Cinta ini seperti cinta Arai pada Zakiah Nurmala. Akhirnya dalam ikatan cinta suci inilah cinta mulai tumbuh dalam hati mimi dan semakin kokoh terhunjam.
Cinta dahsyat ikal pada A Ling yang menjadikannya menjelajahi hampir separuh belahan dunia dan menjadi arah hidupnya tak berkutik oleh pandangan kesedihan ayahnya. Entah apa ujung dari kisah cinta ini karena tetap saja Andrea hirata menggantung kisah ini.