Berbagai pilihan seperti biasa terhidang begitu saja ahir pekan ini. Mulai dari rapat kerja p2tp2a, paket kuliah Epistimologi, jalan-jalan dengan keluarga, kumpul bareng teman-teman RESIC atau istirahat di rumah mengingat saya baru saja pulang dari luar kota karena mengikuti sebuah kegiatan. Kalau menuruti hawa nafsu tentu pilihan terahir yang akan saya pilih untuk memulihkan tenaga yang sudah terkuras. Namun dari sekian banyak pilihan justru yang terahir inilah yang belum saya jalankan.
Jum'at siang saya tiba dari Jakarta. Sampai di rumah disambut anakku yang kecil dengan senyum riangnya. Dia begitu bahagia karena saya menepati janji membawa piala dan oleh-oleh lainnya. Dia bertanya bisakah dia nanti juga mendapat piala seperti yang saya dapatkan? saya menjawab tentu bisa. Dia bisa meraih apapun yang dicita-citakannya bila terus membaca dan menulis. Kami berdua membayangkan berkeliling dunia saat ia dewasa nanti. Sejak kecil saya memang menanamkan impian-impian yang belum bisa saya raih kepada kedua anak-anakku. Impian itu adalah belajar di berbagai wilayah dunia yang menjadi pusat pengetahuan.
Saya mulai mengkondisikannya karena saat itu teman-teman p2tp2a sudah menunggu untuk acara rapat kerja tahun 2012. Saya meminta izin kepadanya untuk mengikuti rapat dan menjelaskan betapa pentingnya hal tersebut untuk menolong perempuan dan anak di Jawa Barat. Kembali saya mengingatkan memorinya saat melihat anak jalanan dan orang-orang terlantar dan mereka harus kita perhatikan. Dia mencoba mengerti penjelaskan saya dan menanyakan rencana kami ahir pekan ini. Ahir pekan ini kami berencana jalan-jalan sambil membeli sepatu yang mereka inginkan. Saya memeluknya dan mengucapkan terimakasih atas pengertiannya yang sudah memberikan 3 hari dalam seminggu ini untuk masyarakat.
Pukul 13.30 saya memacu motor menuju kantor. Ternyata teman-teman sudah ada di lokasi raker dan saya harus menunggu tim kedua yang berangkat pukul 15.30 menuju Sari Ater Subang. Raker berjalan dengan lancar semalaman. Saya betul-betul dikuasai lelah dan ngantuk yang sangat, sehingga tertidur di raker dan menjadi bahan tertawaan yang lain. Program kerja divisi advokasi yang saya tangani sudah dibuat sebelum raker. Jadi raker lebih pada menentukan time line program kerja antar divisi agar tidak bentrok. Selain juga membicarakan kendala-kendala selama ini agar program tahun 2012 lebih baik lagi dari kemarin.
Pagi hari setelah berendam air panas dan sarapan di hotel, segera saya pamit untuk mengikuti kuliah Epistimologi ilmu sosial bersama Dr. Haryatmoko dosen Filsafat UI dan UGM yang diadakan di GSG Salman ITB. Untuk menuju lokasi kuliah, saya harus menunggu teman yang baik hati yang mau mengantar sambil ia pulang ke Bekasi. Karena kalau memakai kendaraan umum sangat sulit. Ahirnya saya terlambat satu jam.
Pukul 10.00-11.00 saya mengikuti perkuliahan sesi pertama. Kuliah disajikan dengan asyik. Dr. Haryatmoko seorang pembicara yang baik. Selain ia memang pakar dibidangnya, gaya bicaranya yang menyenangkan membuat tema-tema filsafat begitu mudah dipahami. Sesi kedua akan berlangsung pukul 13.00 - 15.00. Artinya saya punya waktu dua jam untuk shalat dan beristirahat. Setengah jam saya pakai untuk ngobrol dengan panitia juga peserta kuliah yang lain dimana kebetulan dia adalah mahasiswa yang pernah saya ajar dua tahun lalu. Dia adalah mahasiswa yang cerdas dan memiliki konsen yang sama dengan saya yaitu tema-tema sosial dalam filsafat. Setengah jam lagi saya terjebak di angkot karena ada wisuda UNISBA untuk mengambil motor yang saya simpan di kantor. Setengah jam lagi saya pakai internetan. Sisanya makan, sholat dan perjalanan menuju ruang kuliah.
Sesi kedua ini kembali saya mengalami ekstase. Betul-betul mendalam apa yang disampaikan Dr. Haryatmoko ini. Refernsi yang jelas. Analogi yang pas yang memudahkan pemahaman, juga gayanya yang humoris membuat peserta tertawa-tawa dalam keseriusan. Dalam benak saya berfikir, mungkinkah kelak saya bisa memiliki kapabilitas sepertinya dalam mengajarkan filsafat? Tentu tidak ada yang tidak mungkin bila saya terus belajar lewat membaca buku dan membaca kehidupan serta terus berlatih menyampaikan. Rasanya paket kuliah yang diadakan 8 kali ini akan terasa menyenangkan.
Pulang kuliah saya segera memacu motor menuju rumah. Bandung utara menuju timur saya tempuh dalam waktu 1 jam. Pukul 16.00 saya disambut suami, dan kedua anakku yang sudah bersiap untuk jalan-jalan ke mall sesuai dengan rencana. Segera berganti pakaian dan berangkat bersama mereka. Kami bisa tertawa bersama bermain lempar bola dan beberapa game lainnya, mencari sepatu serta mengahiri jalan-jalan dengan makan malam bersama.
Sampai di rumah pukul 20.30 kami segera shalat berjamaah dan bersiap istirahat tidur. Pagi hari saya mulai mencuci pakaian dan beres-beres sambil menulis. Bersiap-siap kumpul dengan teman-teman RESIC sambil mengasuh anak-anak. Ah...tak terasa besok sudah kembali hari senin. Semoga apa yang saya lakukan bukan sebuah kesia-siaan. Sebuah harapan untuk bisa bermanfaat menjadi motivasi terbesar hidup ini agar bisa menemui-Nya dengan tersenyum. Terus melangkah dalam perjalanan menuju-Nya dan dalam dekapan-Nya. Bimibing Hannah selalu Rabb...
Minggu, 11 Maret 2012
Jumat, 09 Maret 2012
Titik Awal
"Menjadi nominator dalam sebuah ajang penghargaan penulisan sudah membuat saya bahagia, apalagi bila mendapatkannya". Perkataan ini saya ucapkan saat ditelfon panitia Swara Sarasvati Award Koalisi Perempuan Indonesia 2012. Telfon ini membuat saya berbunga-bunga. Sebagai penulis amatir yang baru belajar hal ini merupakan hal yang istimewa.
Tulisan saya yang dimuat di Radar Banten pada tanggal 21 April 2011 yang berjudul "Episode Terahir Kartini" ternyata sesuai dengan tema yang diangkat Swara Sarasvati Award kali ini. Anugerah Swara Sarasvati merupakan penghargaan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap jurnalisme dan media yang telah berperan dalam upaya untuk mengurangi angka kematian Ibu melahirkan sepanjang tahun 2011 melalui tulisan dan pemberitaan di media cetak dan online.
Koalisi Perempuan Indonesia mengumpulkan naskah dalam rentang waktu Januari s/d November 2011 dan berhasil mengumpulkan sebanyak 2192 berita dari 94 sumber berita baik cetak maupun online dengan kata kunci kematian Ibu dan Anak.
Seleksi dilakukan oleh Dewan Juri yaitu Maria Hartiningsih dari Kompas, Eko Mariadi dari AJI, Dian Kartika Sari Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, dan Ignatius Haryanto penulis dan pengamat media. Seleksi pertama menghasilkan 143 berita atau artikel yang sesuai dengan tema. Seleksi tahap kedua menghasilkan 8 naskah / artikel sebagai nominasi penerima penghargaan. Seleksi tahap tiga dilakukan untuk menentukan 3 (tiga) karya terbaik dari 8 (delapan) nominasi. Namun 1(satu) dari 8 nominasi menyatakan mengundurkan diri karena alasan keaslian tulisan.
Penerima Award juara pertama yaitu Fadmi Sustiwi dengan tulisan "Ketika Reproduksi tak sekedar Medis" dari Kedaulatan Rakyat, juara kedua tulisan saya dan yang ketiga dr titik Leda dengan tulisan "Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak menuju MDGs Provinsi NTT Masih Raport Merah" dari Koran Timur Ekspress.
Pengumuman ini membuat saya semakin bersemangat untuk terus menulis. Menulis sebagai sebuah perjalanan spiritual. Sebagai sarana menemukan diri. Ini baru titik awal dan akan terus menjadi awal. Langkah awal untuk mewarnai media di Indonesia dengan suara perempuan. Menyuarakan perempuan marginal yang tertindas yang selama ini dibungkam. Menjadi penyeimbang bagi suara perempuan dan yang menyurakan perempuan mainstream yang hanya berbicara permukaan dan tak menyentuh realitas sosial yang ada. Banzai!!!!!
Tulisan saya yang dimuat di Radar Banten pada tanggal 21 April 2011 yang berjudul "Episode Terahir Kartini" ternyata sesuai dengan tema yang diangkat Swara Sarasvati Award kali ini. Anugerah Swara Sarasvati merupakan penghargaan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap jurnalisme dan media yang telah berperan dalam upaya untuk mengurangi angka kematian Ibu melahirkan sepanjang tahun 2011 melalui tulisan dan pemberitaan di media cetak dan online.
Koalisi Perempuan Indonesia mengumpulkan naskah dalam rentang waktu Januari s/d November 2011 dan berhasil mengumpulkan sebanyak 2192 berita dari 94 sumber berita baik cetak maupun online dengan kata kunci kematian Ibu dan Anak.
Seleksi dilakukan oleh Dewan Juri yaitu Maria Hartiningsih dari Kompas, Eko Mariadi dari AJI, Dian Kartika Sari Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, dan Ignatius Haryanto penulis dan pengamat media. Seleksi pertama menghasilkan 143 berita atau artikel yang sesuai dengan tema. Seleksi tahap kedua menghasilkan 8 naskah / artikel sebagai nominasi penerima penghargaan. Seleksi tahap tiga dilakukan untuk menentukan 3 (tiga) karya terbaik dari 8 (delapan) nominasi. Namun 1(satu) dari 8 nominasi menyatakan mengundurkan diri karena alasan keaslian tulisan.
Penerima Award juara pertama yaitu Fadmi Sustiwi dengan tulisan "Ketika Reproduksi tak sekedar Medis" dari Kedaulatan Rakyat, juara kedua tulisan saya dan yang ketiga dr titik Leda dengan tulisan "Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak menuju MDGs Provinsi NTT Masih Raport Merah" dari Koran Timur Ekspress.
Pengumuman ini membuat saya semakin bersemangat untuk terus menulis. Menulis sebagai sebuah perjalanan spiritual. Sebagai sarana menemukan diri. Ini baru titik awal dan akan terus menjadi awal. Langkah awal untuk mewarnai media di Indonesia dengan suara perempuan. Menyuarakan perempuan marginal yang tertindas yang selama ini dibungkam. Menjadi penyeimbang bagi suara perempuan dan yang menyurakan perempuan mainstream yang hanya berbicara permukaan dan tak menyentuh realitas sosial yang ada. Banzai!!!!!
Selasa, 06 Maret 2012
Terjepit...
Pernahkah mengalami suatu kondisi
dimana kita benar-benar terjepit? Saya kemarin mengalami kondisi demikian.
Kondisi yang membuat saya gelisah, tegang dan tidak menikmati momen dan suasana
yang ada. Dalam hati saya berjanji tidak akan mengulanginya dan masuk dalam
situasi tersebut.
Kondisi ini berawal dari
bersedianya saya menjadi pembahas yang mereview modul “Keluarga Sakinah
Perpektif Kesetaraan” yang sudah disusun dan diujicobakan. Kenapa saya
bersedia? Selain sebuah pembelajaran, saya juga tidak ingin melewatkan
kesempatan baik yang diberikan. Tawaran ini sebuah amanah buat saya sekaligus
tantangan.
Modul dan surat saya dapatkan 10
hari sebelum kegiatan. Dalam surat yang dikirim, saya sama sekali tidak
mendapat kejelasan mereview dari perspektif apa. Tidak ada pula kisi-kisi apa
yang harus saya bahas. Saya tidak peka dan tidak memikirkan dulu amanah ini.
Hal ini dikarenakan saya sedang memperbaiki proposal disertasi yang sudah saya
tinggalkan 11 bulan. Selain juga berusaha membuat dua proposal penelitian yang
akan diajukan selain beraktifitas seperti biasa sebagai ibu, dosen dan staf
advokasi yang tiap hari ngantor.
Saya baru betul-betul membaca H-2
dari kegiatan. Saya baca modul dan kumpulkan
referensi sebagai pembahas modul. Dalam kebingungan, saya bertanya pada
teman di Jakarta yang juga akan mengikuti kegiatan tersebut. Dia hanya menjawab
perspektif yang dikuasai saja. Kata dia menambahkan audiens kebanyakan dari Kemenag biasanya tidak
terlalu dalam dan hanya seremonial saja. Power point yang saya buat memakai
perspektif Islam dan tidak terlalu dalam. Saya berencana akan menjelaskan
dengan pengalaman yang saya alami sendiri.
Saat tiba di lokasi, kegiatan
dilaksanakan tepat waktu. Pembahasan Modul di malam pertama yang disajikan oleh
pembuat modul terjadi sangat interaktif. Pembuat modul dalam hal ini merupakan
guru saya selalu membuat saya terkesan dengan argumen-argumennya yang jelas
disertai dalil yang kuat. Peserta Workshop dari Puslitbang Kemenag selain para
peneliti, juga tokoh-tokoh kunci senior di bidang Keluarga yang berasal dari
BP4, Bimas, Urais, dll. Selain tentu saja perwakilan dari Rahima yang juga
sudah saya kenal baik kualitasnya serta cara pandang kritisnya.
Kegiatan berlangsung sampai pukul
21.30 malam. Saya langsung masuk ke kamar hotel dengan perasaan cemas. Apa yang
akan saya sampaikan besok? Masukan terhadap modul yang sudah saya buat hampir
semua sudah di bahas forum. Saya berfikir masih punya waktu untuk mempersiapkan
ini. Malam itu juga saya telfon suami untuk berkonsultasi dengannya. Dia hanya
berkata bahwa dia mempercayai saya dan berdo’a untuk persentasi yang akan saya
lakukan. Saat saya meminta pendapatnya tentang apa yang harus saya bahas, dia
hanya berkata sampaikan apa yang kamu punya dimana orang lain tidak.
Saya terus berfikir apa yang saya
punya dan orang lain tidak? Saya punya apa? Saya tak punya apa-apa. Semakin
saya berfikir semakin kosong pikiran saya. Tiba-tiba saya teringat dengan
disiplin ilmu yang saya tekuni sejak S1 yaitu filsafat. Lalu saya memutuskan
untuk meng-sms dosen filsafat saya agar bisa memberikan semacam clue atau
petunjuk kira-kira teori atau apa yang
mesti saya sampaikan. Ternyata komunikasi kami sulit terjadi. Pulsa telfon saya
malam itu terbatas dan nomor kami beda operator. Kalau saya telfon paling cuma
cukup 2 menit dan itu tidak membantu apa-apa. Saya ingin berbincang lewat YM
atau fesbuk namun ternyata dia tidak connect internet. Dia menyarankan mengirim
tulisan saya lewat email dan akan dia balas pagi nanti.
Saat yang bersamaan tiba-tiba
salah satu dosen filsafat yang lain waktu S1 juga sedang online. Saya langsung
menyapa dan kami berbincang hampir satu setengah jam. Dengan serius saya
ceritakan kondisi yang sedang saya alami ini. Pembicaraan yang terjadi adalah
debat kusir yang tidak jelas. Saya lelah untuk terus meluruskan pembicaraan
agar selalu ada dalam track. Entah kenapa dosen saya saat ini sulit sekali
diajak berbicara ilmiah. Pandangan saya tentang Keluarga Sakinah Perspektif
Kesetaraan diresponi dengan nyinyir. Entahlah mungkin kondisi keluarganya yang
berantakan membuat pikirannya tidak jelas. Setelah dua jam saya bertanya sana
sini ahirnya sampai pada kesimpulan saya akan mengandalkan diri sendiri.
Rencana untuk mengirim tulisan saya pada dosen pertama yang saya ajak ngobrol
juga menguap sudah. Belum tentu juga dia meresponi dengan serius dan baik
kesulitan saya. Kalau nyinyir dan tidak jelas seperti dosen kedua yang saya
ajak bicara artinya buang-buang waktu. Namun saya berterimakasih kepada
keduanya karena masih mau meresponi saya di waktu yang tidak tepat.
Saya lalu mencoba menghipnosis
diri. Merilekskan tubuh saya seringan mungkin. Saya mencoba untuk tidak memakai
gelombang beta yang selama ini membuat saya lelah. Saya pakai gelombang alpha membayangkan bahwa saya bisa menemukan sesuatu yang bisa berguna dalam membahas
modul dan bisa bermanfaat. Membayangkan saya menyampaikan dengan baik.
Membayangkan peserta bisa memahami yang saya sampaikan. Mencoba merasakan
kebahagiaan bahwa apa yang saya jalani adalah proses belajar. Belajar tidak
usah takut salah. Momen yang saya alami adalah sebuah titik yang harus saya
lewati. Beruntunglah saya, Allah memberikan kesempatan ini.
Setelah menghipnosis diri kembali
saya buka tulisan-tulisan lama yang sudah saya buat di laptop. Modul merupakan
media yang penting dalam sebuah pelatihan. Media yang dijadikan fasilitator
sebagai pegangan. Pelatihan merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam
pendidikan. Sebenarnya paradigma
pendidikan seperti apa yang
dipakai oleh Modul ini? Karena tanpa sebuah paradigma pendidikan yang
membebaskan sulit sekali modul ini bisa diaplikasikan.
Ya tiba-tiba sebuah ide untuk
membahas paradigma pendidikan yang membebaskan dan menyadarkan muncul di kepala. Agar sebuah modul, berbagai pelatihan, bahkan
program yang dibuat tidak hanya sekedar formalitas belaka. Setelah pelatihan
lalu apa yang akan dilakukan? Apakah hanya untuk sampai disini saja? Untuk apa
sebenarnya program ini di buat? Karena permasalahan sosial kian hari kian
menggunung, artinya bila tanpa sebuah paradigma yang jelas apa yang dilakukan
akan sia-sia belaka.
Setelah ide ini muncul saya
menuangkannya dalam power point yang mengubah total apa yang sudah saya buat.
Saya revisi ulang tulisan saya yang bisa menjadi media audiens untuk memahami
power point yang akan saya sampaikan. Saya tidak berfikir hanya mencoba
menuangkan apa yang saya punya, pahami dan ingin saya bagikan.
Entah seperti apa gaya saya
mempersentasikan saat itu, yang jelas saya sudah menyampaikan apa yang ingin
saya sampaikan. Saat meminta pendapat teman bagaimana penampilan saya? Dia
hanya bilang, “santai saja penampilan kamu cukup baik”. Pada pembicaraan yang
lain dia juga berkata bahwa seringkali dia tidak bisa mengikuti pola pikir saya
yang kadang nyentrik di luar kebiasaan sehingga sulit di tebak katanya. Ah
terserahlah satu pelajaran yang bisa saya petik dari kondisi terjepit ini yaitu
jangan biarkan diri kita ada dalam kondisi terjepit. Kalau saya serius di
bidang yang dijalani saat ini, maka membaca penelitian-penelitian terkini
tentang perempuan di dunia muslim harus jadi kebutuhan. Beruntunglah saya
bertemu dengan peneliti senior yang memberi banyak referensi berupa link yang berisi buku pdf tentang penelitian-penelitian
tentang perempuan di dunia muslim saat ini. Terimakasih Allah.
Langganan:
Postingan (Atom)
Fitnah Lelaki Ganteng
Pandemi covid 19 membatasi interaksi sosial manusia. Hal ini membuat semakin banyak orang yang menggunakan internet sebagai media bersosia...

-
Pertama kali mendengar lagu Aisyah Istri Rasulullah di wag dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung 3 hari lalu. Saya melihat video yang diki...
-
Pernah mendengar ada kecelakaan karena pakaian masuk ke jari-jari motor? Sepertinya kejadian ini ada di sekitar kita. Saya sendiri pernah m...
-
Butiran air mata menetes di pipinya yang muda. Sesekali ia berkata, "ia bu saya minta maaf, saya sudah keliru". Kejadian seperti i...
