Kehormatan seorang gadis terletak saat dia menjaga kesuciannya sebelum menikah. Kehormatan seorang istri saat ia menjaga kesetiaan terhadap pasangan. Kedua pernyataan ini sekali lagi keluar dari pola pikir yang naif. Meski naif entah kenapa kedua hal ini kerap kali menjadi faktor mendasar berbagai persoalan yang selama ini dihadapi.
Saya menyadari bahwa pola pikir ini mau tidak mau merupakan bentukan budaya patriarki yang memberikan standar ganda untuk perempuan dan lelaki. Dimana perempuan sebelum memasuki pernikahan harus dalam kondisi masih suci sebagai representasi dari kehormatannya. Sedangkan bagi lelaki kesucian bukanlah yang yang terpenting saat memasuki pernikahan. Bahkan bila ada lelaki yang sering gonta ganti pacar masyarakat malah menganggapnya macho dan biasa. Sedangkan perempuan bila seperti itu dianggap perempuan murahan.
Saya tidak setuju dengan standar ganda yang diberlakukan bagi perempuan dan lelaki di atas. Bagi saya baik lelaki maupun perempuan harus memakai standar yang sama dalam hal kehormatan. Keduanya harus menjaga kehormatan yang diantaranya menjaga kesuciannya sebelum kedua belah pihak diikat dengan perjanjian Agung di hadapanNya. Sekali lagi kehormatan perempuan memang tidak terletak pada hymen (selaput dara) yang masih utuh. Karena tidak semua perempuan lahir kedunia ini memiliki hymen. Bahkan karena sangat tipis, hymen tersebut bisa robek begitu saja bukan karena hubungan seksual.
Lantas apa yang disebut dengan kehormatan seorang perempuan? Dan apa yang disebut kehormatan lelaki? Untuk kehormatan seorang perempuan saya teringat dengan istri Rasulullah Khadijah al-Kubra yang bergelar at-Thahiroh (seseorang yang menjaga kesucian). Khadijah merupakan seorang perempuan yang pernah menikah dua kali sebelum ahirnya menikah dengan Rasulullah. Gelar perempuan yang menjaga kesucian ini diberikan masyarakat Mekkah padanya. Ternyata bukan sekedar karena ia menjaga hymennya untuk utuh, karena dia pernah menikah dua kali. Tapi lebih dari itu ia merupakan seorang perempuan yang memiliki itegritas yang tinggi dalam penghambaan terhadap Allah dan terhadap pasangan hidupnya. Integritas yang tinggi ini bukan sesuatu yang tiba-tiba. Melainkan sebuah habitus yang terus menerus diciptakan dan diupayakan sehingga menjadi etos. Sebelum menikah Khadijah merupakan sosok perempuan yang selalu menjaga kesuciannya perilaku dan pemikirannya
Bagaimana dengan kehormatan lelaki? Sekali lagi saya berpegang teguh pada standar yang sama. Perempuan dan lelaki memiliki standar kehormatan yang sama dimana sebelum menikah dia harus menjaga kesuciannya. Setelah menikah ia bertanggungjawab dengan peran serta fungsi yang diembannya. Lelaki dan perempuan keduanya merupakan hamba Allah. Lelaki tidak mengabdi kepada perempuan. Demikian sebaliknya perempuan tidak mengabdi kepada lelaki. Keduanya berkewajiban mengabdi padaNya. Hubungan diantara keduanya adalah hubungan yang setara dan adil yang ditujukan dalam rangka menciptakan kehidupan yang harmonis.
Blue Diamond 27 Juni 2012
Tulisan ini mengekstraksi keresahan yang menyalahkan perempuan sebagai biang keladi retaknya sebuah rumah tangga. "Karena tidak perawan sih saat menikah!". "Karena istrinya selingkuh sih jadi disiksa dan tidak kunjung dicerai". Bisakah masyarakat memberikan standar yang sama kepada lelaki dan perempuan? Bukankah Allah pun memberikan standar yang sama untuk kedua jenis kelamin ini? Kemuliaan/kehormatan seseorang bukan karena lelaki dan perempuannya tapi karena taqwanya.
Rabu, 27 Juni 2012
Senin, 18 Juni 2012
Memang Kenapa Kalo Flat?
"Life is never flat". Jargon ini dipakai salah satu snack yang membuat produknya berbentuk bergelombang. Gelombang membuat kondisi jadi meriah, jadi menyenangkan. Bentuk yang datar tidak memiliki kekhasan akan mudah dilupakan orang. Datar...sederhana dan itu-itu saja.
Hidup yang datar memang membosankan. Adrenalin tidak terpacu lebih kencang. Kreatifitas mentok disitu. Hari ke hari hanya berhadapan dengan rutinitas. Maukah menghabiskan hidup untuk hidup yang datar datar saja?
Rutinitas yang menindas mungkin menyebalkan. Tapi karena adanya rutinitas kita jadi memiliki sesuatu yang kita nantikan. Kita tunggu. Kita perhatikan. Sebagaimana cerita Little Prince yang memiliki sekuntum bunga yang ia jaga.
Saat kita biasa bertemu pukul dua, maka sebelum pukul dua kita menjadi gelisah mempersiapkan sebuah pertemuan. Satu jam sebelumnya menjadi saat yang menyenangkan dan lebih menyenangkan lagi saat bisa bertemu. Kita menjadi berharga pada saat memiliki komitmen dengan yang lain. Memiliki keterikatan.
Kembali pada "Life is never flat". Flat ternyata juga memiliki sisi yang menyenangkan. Tidak selamanya gelombang itu meriah. Bagaimana bila ternyata seseorang cenderung menyukai hal yang sunyi? Bahkan di tengah keramaian yang dicari adalah kesunyian. Semakin meriah justru yang terasa adalah kesenyapan.
Kalaulah kesenyapan sebuah pilihan.
Akan kurangkul ia menjadi sahabat.
Berbagi cerita lewat desahan nafas dan tarian jemari di atas keyboard.
Persetan dengan semua celoteh yang menjejali telinga.
Berisik dan tak lagi asyik
Seulas senyum dan pelukan hangat
Menenangkan jiwa yang penuh dengan tanya
Jawab akan menemukan para pencarinya
Dalam kosong dan datar
Menghampiri sambil menelusupi
Hidup yang datar memang membosankan. Adrenalin tidak terpacu lebih kencang. Kreatifitas mentok disitu. Hari ke hari hanya berhadapan dengan rutinitas. Maukah menghabiskan hidup untuk hidup yang datar datar saja?
Rutinitas yang menindas mungkin menyebalkan. Tapi karena adanya rutinitas kita jadi memiliki sesuatu yang kita nantikan. Kita tunggu. Kita perhatikan. Sebagaimana cerita Little Prince yang memiliki sekuntum bunga yang ia jaga.
Saat kita biasa bertemu pukul dua, maka sebelum pukul dua kita menjadi gelisah mempersiapkan sebuah pertemuan. Satu jam sebelumnya menjadi saat yang menyenangkan dan lebih menyenangkan lagi saat bisa bertemu. Kita menjadi berharga pada saat memiliki komitmen dengan yang lain. Memiliki keterikatan.
Kembali pada "Life is never flat". Flat ternyata juga memiliki sisi yang menyenangkan. Tidak selamanya gelombang itu meriah. Bagaimana bila ternyata seseorang cenderung menyukai hal yang sunyi? Bahkan di tengah keramaian yang dicari adalah kesunyian. Semakin meriah justru yang terasa adalah kesenyapan.
Kalaulah kesenyapan sebuah pilihan.
Akan kurangkul ia menjadi sahabat.
Berbagi cerita lewat desahan nafas dan tarian jemari di atas keyboard.
Persetan dengan semua celoteh yang menjejali telinga.
Berisik dan tak lagi asyik
Seulas senyum dan pelukan hangat
Menenangkan jiwa yang penuh dengan tanya
Jawab akan menemukan para pencarinya
Dalam kosong dan datar
Menghampiri sambil menelusupi
Rabu, 13 Juni 2012
Terimakasih Semuanya!
Senja menyambut usainya sebuah tahapan. Melalui sesuatu yang sudah dimulai. Malah kalau bisa segera diselesaikan. Meski sulit, ternyata bila dilangkahkan jalan keluar itu selalu ada.
Beban psikologis dari sebuah pengabaian lebih berat dari usaha mencari jalan keluar. Kenapa pula harus memilih pengabaian? entahlah...terkadang kesadaran muncul setelah berjibaku begitu keras dengan berbagai hal. Di titik inilah mungkin kesungguhan dipertaruhkan.
Waktu...sekali lagi selalu menjadi obat dan solusi. Memang benar bila saatnya sudah tiba, apapun bisa terbuka dan terjadi. Semua ada saatnya...semua ada gilirannya...semua ada dalam sekenarioNya.
Letih masih tersisa. Ingin segera menenggelamkan diri dalam kesejatian. Bertemu dan menyerahkan sepenuhnya pada sang Raja. Menyerahkan segala yang dimiliki...tak ada daya..tak pula upaya...hanya Ia...sepenuhnya Ia.
Sebelum sepenuhnya hilang, lautan syukur menggema berulang. Betapa semesta bergerak memudahkan segala urusan hari ini. Esok...terus menjelang sebuah harapan. Menyelesaikan yang sudah dimulai. Satu persatu...terurai...terangkai...Terimakasih semuanya!
Beban psikologis dari sebuah pengabaian lebih berat dari usaha mencari jalan keluar. Kenapa pula harus memilih pengabaian? entahlah...terkadang kesadaran muncul setelah berjibaku begitu keras dengan berbagai hal. Di titik inilah mungkin kesungguhan dipertaruhkan.
Waktu...sekali lagi selalu menjadi obat dan solusi. Memang benar bila saatnya sudah tiba, apapun bisa terbuka dan terjadi. Semua ada saatnya...semua ada gilirannya...semua ada dalam sekenarioNya.
Letih masih tersisa. Ingin segera menenggelamkan diri dalam kesejatian. Bertemu dan menyerahkan sepenuhnya pada sang Raja. Menyerahkan segala yang dimiliki...tak ada daya..tak pula upaya...hanya Ia...sepenuhnya Ia.
Sebelum sepenuhnya hilang, lautan syukur menggema berulang. Betapa semesta bergerak memudahkan segala urusan hari ini. Esok...terus menjelang sebuah harapan. Menyelesaikan yang sudah dimulai. Satu persatu...terurai...terangkai...Terimakasih semuanya!
Sabtu, 09 Juni 2012
Hati Memiliki Alasannya Sendiri
Hati memiliki alasannya sendiri sementara alasan tak selalu bisa dipahami ( Blaise Pascal )
Mencoba mengenang perjalanan sebelas tahun lalu menjelang pernikahan. Saat itu betul-betul saya mengikuti kata hati. Bahkan logikapun nyaris ditanggalkan. Boleh jadi ungkapan Pascal di atas betul-betul saya jalankan. Mengikuti kata hati.
Menjadi seorang aktifis dengan segudang kegiatan membuat saya nyaris tak memiliki waktu untuk diri sendiri. Setiap hari selalu bergerak menyelesaikan satu urusan menuju urusan yang lain. Mengelola rental komputer dengan adik di kostan, lalu kuliah, pergi ke sekre, kursus bahasa, ngaji, rapat redaksi, berahir malam di kostan dengan menyusun skripsi.
Waktu bergerak begitu cepat sehingga dalam benak saya tak ada pikiran untuk pernikahan. Apalagi memikirkan kriteria suami yang diidamkan. Hanya satu hal yang saya percaya bahwa "yang baik akan mendapatkan yang baik". Bila ingin mendapatkan pasangan yang baik, maka baikkan dulu diri sendiri. Bila ingin mendapatkan pasangan yang sholeh maka sholehahkan dulu diri sendiri. Saya bertekad, sebelum menikah saya tidak akan pacaran. Pacaran akan saya jalankan setelah menikah. Naif ? silahkan mau dikatakan seperti itu pun tak apa.
Tingkat empat merupakan waktu terefektif dalam perkuliahan yang saya jalankan. Studi wanita UI kerap saya datangi untuk bahan skripsi. Kolese St. Ignatius Jogja pun didatangi demi mencari buku-buku Foucault yang saat itu belum ada terjemahnya dan masih sulit ditemui. Informasi beasiswa luar negri sudah saya kumpulkan. Pameran pendidikan luar negri saya juga datangi. Meneruskan kuliah di luar negri merupakan impian yang akan diwujudkan.Satu hal yang sangat penting untuk mewujudkan itu semua adalah TOEFL saya harus diatas 500. Kursus bahasa Inggirs merupakan sebuah kewajiban.
Dua hari mengikuti kursus, wajah pengajar bahasa Inggris tersebut tidak mau hilang dalam ingatan saya. Saya mengadukan permasalahan ini pada teman. Dia hanya tertawa geli melihat saya tumben tumbennya ngomongin laki-laki. Terus terang saya bingung dengan hal ini karena secara estetika guru kursus tersebut pas pasan.
Saat ini wajah itulah yang setiap pagi saya lihat ketika bangun tidur. Sebelas tahun sudah ia menjadi bagian dari hidup ini. Lamarannya tidak bisa ditolak begitu saja karena strategi yang dijalankan sangat jitu. Menembak tepat pada sasaran yaitu orang tua dan guru ngaji. Dua pihak yang otoritasnya begitu besar pada diri saya.
Saya menyetujui lamarannya dengan syarat bahwa saya boleh meneruskan kuliah dimana pun dan setinggi apapun yang saya inginkan serta boleh mengajar. Ia menyanggupi dan mengatakan tak perlu sebuah kertas dan matrai untuk meneguhkannya, cukup syahadat sebagai mu'min jadi garansinya. Bila ia khianat terhadap syarat yang saya ajukan maka ia bukanlah seorang mu'min.Karena menurutnya syarat yang saya ajukan merupakan kewajiban semua mu'min. Syarat ini ia jalankan sampai hari ini.
Menikah di usia 22 tahun bila saya renungkan saat ini betapa sangat muda. Menggeser sebuah mimpi dengan mimpi lain dengan cepat sangat tidak logis. Lebih mengikuti kata hati itulah yang saya jalankan. Memang benar kata Pascal hati memiliki alasannya sendiri. Sebelas tahun ini saya semakin mengenal diri sendiri. Terus bergandengan tangan untuk menjadi lebih baik lagi, terutama di hadapanNya. Semoga saya bisa menjadi motivator dan dinamisator bagi qowwam keluarga ini. Ah...terimakasih Sang pembuat sekenario hidup ini! Terus bimbing kami
Mencoba mengenang perjalanan sebelas tahun lalu menjelang pernikahan. Saat itu betul-betul saya mengikuti kata hati. Bahkan logikapun nyaris ditanggalkan. Boleh jadi ungkapan Pascal di atas betul-betul saya jalankan. Mengikuti kata hati.
Menjadi seorang aktifis dengan segudang kegiatan membuat saya nyaris tak memiliki waktu untuk diri sendiri. Setiap hari selalu bergerak menyelesaikan satu urusan menuju urusan yang lain. Mengelola rental komputer dengan adik di kostan, lalu kuliah, pergi ke sekre, kursus bahasa, ngaji, rapat redaksi, berahir malam di kostan dengan menyusun skripsi.
Waktu bergerak begitu cepat sehingga dalam benak saya tak ada pikiran untuk pernikahan. Apalagi memikirkan kriteria suami yang diidamkan. Hanya satu hal yang saya percaya bahwa "yang baik akan mendapatkan yang baik". Bila ingin mendapatkan pasangan yang baik, maka baikkan dulu diri sendiri. Bila ingin mendapatkan pasangan yang sholeh maka sholehahkan dulu diri sendiri. Saya bertekad, sebelum menikah saya tidak akan pacaran. Pacaran akan saya jalankan setelah menikah. Naif ? silahkan mau dikatakan seperti itu pun tak apa.
Tingkat empat merupakan waktu terefektif dalam perkuliahan yang saya jalankan. Studi wanita UI kerap saya datangi untuk bahan skripsi. Kolese St. Ignatius Jogja pun didatangi demi mencari buku-buku Foucault yang saat itu belum ada terjemahnya dan masih sulit ditemui. Informasi beasiswa luar negri sudah saya kumpulkan. Pameran pendidikan luar negri saya juga datangi. Meneruskan kuliah di luar negri merupakan impian yang akan diwujudkan.Satu hal yang sangat penting untuk mewujudkan itu semua adalah TOEFL saya harus diatas 500. Kursus bahasa Inggirs merupakan sebuah kewajiban.
Dua hari mengikuti kursus, wajah pengajar bahasa Inggris tersebut tidak mau hilang dalam ingatan saya. Saya mengadukan permasalahan ini pada teman. Dia hanya tertawa geli melihat saya tumben tumbennya ngomongin laki-laki. Terus terang saya bingung dengan hal ini karena secara estetika guru kursus tersebut pas pasan.
Saat ini wajah itulah yang setiap pagi saya lihat ketika bangun tidur. Sebelas tahun sudah ia menjadi bagian dari hidup ini. Lamarannya tidak bisa ditolak begitu saja karena strategi yang dijalankan sangat jitu. Menembak tepat pada sasaran yaitu orang tua dan guru ngaji. Dua pihak yang otoritasnya begitu besar pada diri saya.
Saya menyetujui lamarannya dengan syarat bahwa saya boleh meneruskan kuliah dimana pun dan setinggi apapun yang saya inginkan serta boleh mengajar. Ia menyanggupi dan mengatakan tak perlu sebuah kertas dan matrai untuk meneguhkannya, cukup syahadat sebagai mu'min jadi garansinya. Bila ia khianat terhadap syarat yang saya ajukan maka ia bukanlah seorang mu'min.Karena menurutnya syarat yang saya ajukan merupakan kewajiban semua mu'min. Syarat ini ia jalankan sampai hari ini.
Menikah di usia 22 tahun bila saya renungkan saat ini betapa sangat muda. Menggeser sebuah mimpi dengan mimpi lain dengan cepat sangat tidak logis. Lebih mengikuti kata hati itulah yang saya jalankan. Memang benar kata Pascal hati memiliki alasannya sendiri. Sebelas tahun ini saya semakin mengenal diri sendiri. Terus bergandengan tangan untuk menjadi lebih baik lagi, terutama di hadapanNya. Semoga saya bisa menjadi motivator dan dinamisator bagi qowwam keluarga ini. Ah...terimakasih Sang pembuat sekenario hidup ini! Terus bimbing kami
Langganan:
Postingan (Atom)
Fitnah Lelaki Ganteng
Pandemi covid 19 membatasi interaksi sosial manusia. Hal ini membuat semakin banyak orang yang menggunakan internet sebagai media bersosia...

-
Pertama kali mendengar lagu Aisyah Istri Rasulullah di wag dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung 3 hari lalu. Saya melihat video yang diki...
-
Pernah mendengar ada kecelakaan karena pakaian masuk ke jari-jari motor? Sepertinya kejadian ini ada di sekitar kita. Saya sendiri pernah m...
-
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi Aku tenggelam dalam lautan luka dalam Aku tersesat dan tak tau arah jalan pulang Aku tanpam...
